oleh
Arnita Setiawati, S.Hum.
Dimaz Kusuma, S.Hum.
Fian Sulyana, S.Hum.
SEJARAH
BAHASA MELAYU
A. Teeuw
Para ahli bahasa
menentang bahasa Melayu tulis karena dianggap tercemar oleh bahasa-bahasa
lainnya, seperti Parsi dan Arab merupakan salah satu penghambat berkembangnya
penelitian terhadap sejarah bahasa Melayu. Selain itu, perhatian yang
terkonsentrasi pada struktur bahasa Melayu mengakibatkan penelitian terhadap
sejarahnya hampir tidak tersentuh.
Kategori yang sering
menjadi perdebatan ahli bahasa dalam menganalisis bahasa Melayu adalah kategori
bahasa Melayu Klasik, Kuna, dan bahasa Melayu Susastra—yang diidentikan dengan
daerah Riau-Johor.
Sumber Primer
Pada beberapa akhir
ini, penelitian kesejarahan bahasa Melayu tersebut mulai menemukan titik
terang. Sumber-sumber primer, seperti prasasti pada abad ke-7, mulai ditemukan
dan dianggap sebagai bahasa Melayu Kuna. Sisi normatif yang terdapat di
kalangan ahli bahasa pun semakin terbuka dan penelitian yang ada pun tidak
berat sebelah ke dalam struktur bahasa saja. Hal penting pertama adalah
ditemukannya empat prasasti oleh Coedes pada tahun 1930 dan pemecahan sandi yang
terdapat pada sebuah batu besar oleh Casparis pada tahun 1956. Keseluruhan
prasasti tersebut ditemukan di berbagai tempat di pulau Jawa.
Seiring dengan
ditemukannya berbagai prasasti tentang bahasa Melayu Kuna, hanya Aichele saja
yang mendalami berbagai masalah kebahasaannya dan hubungannya dengan
bahasa-bahasa di Indonesia. Dengan berbagai penelitian struktur kebahasaan,
Aichele berkesimpulan bahwa bahasa Batak merupakan sumber asli dari bahasa Melayu. Temuannya berdasarkan
berkas isoglos yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa afiksasi—yang dianggap
penting dalam bahasa Melayu—tersebar luas di daerah Indonesia bagian Barat. A.
Teeuw membantah bahwa hasil akhir yang diutarakan oleh Aichele hanya melihat
perbedaan pada abad ke-7 sebagai bentuk penyimpangan dari aturan klasik. Aichele
tidak melihat gagasan bahwa bentuk baru merupakan pengembangan dari bentuk yang
lama. Lebih jauh lagi, A. Teeuw mengisyaratkan bahwa bahasa Melayu Kuna abad
ke-17 tidak secara langsung merupakan keturunan dari abad ke-7.
Prasasti yang
dicurigai merupakan peninggalan bahasa Melayu dianggap aneh oleh A. Teeuw.
Secara fonologis, bahasa yang terdapat dalam prasasti tersebut tidak mengacu
kepada bahasa Sansekerta. Dari sudut pandang leksikal, bahasa tersebut tidak
mempunyai ciri khas bahasa Melayu, misalnya dalam pronomina aku, kamu, dia, dan
kita yang berarti ‘engkau’ juga terdapat dalam Hikayat Aceh. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pronomina tersebut bukan berasal dari bahasa Melayu
melainkan dari bahasa Jawa Kuna.
Sumber lain yang
dianggap sebagai sejarah bahasa Melayu adalah prasarti di Kedu, Jawa Tengah.
Prasasti tersebut dapat dipecahkan oleh Casparis. Akan tetapi, berhubung bahasa
yang ditemukan hampir sama dengan prasasti sebelumnya, maka dapat diperkirakan
prasasti tersebut lahir pada pertengahan abad ke-9 yang lebih dekat kepada
bahasa Melayu Klasik alih-alih bahasa Melayu Kuna. Prasasti lainnya, yaitu dari
daerah Minangkabau tahun 1356 menunjukkan bahwa bahasa Melayu Kuna masih
dipakai hingga akhir periode Hindu di Sumatera.
Pelestarian terhadap
prasasti sebagai suatu data primer bahasa memang diperlukan. Para pengutip susastra
berbahasa Melayu tidak sebaik pengutip susastra Jawa. Berdasarkan
ketelitiannya, pengutip susastra Jawa dapat melestarikan teks asli selama
berabad-abad. Berbeda halnya dengan pengutip susastra Melayu yang tidak dapat
menjaga datanya dengan baik sehingga asal-usul bahasa Melayu pun sulit
ditemukan.
Bahasa Melayu
Tulis dan Lisan
Ciri umum khas dalam
pengkajian bahasa Melayu tulis adalah kaitannya dengan pra-Islam. Nuruddin
Arraniri, salah satunya. Ketika datang ke Aceh pada tahun 1837, ia telah memahami
bahasa-bahasa Melayu di tempat lain dan banyak menulis teks dalam bahasa Melayu
yang terpengaruh oleh bahasa Arab. Akan tetapi, sampai saat ini, pengaruh idiom
bahasa Arab dalam bahasa Melayu belum diteliti secara sistematis sehingga belum
menunjukkan jawaban dari mana asal bahasa Melayu.
Untuk menemukan
sejarah bahasa Melayu, A. Teeuw mengemukakan bahwa suatu keharusan bagi ahli
bahasa mengaitkan antara bahasa tulis dengan bahasa lisan yang ada, baik dari
daerah-daerah di Indonesia maupun Malaysia. Akan tetapi, jalan pikiran normatif
telah menghalangi para ilmuwan untuk mengembangkan sejarah bahasa Melayu
sekaigus menghalangi kemajuan penelitian mereka.
TENTANG SEJARAH BAHASA INDONESIA
H. Steinhauer
Bahasa Melayu dijadikan bahasa
nasional di Indonesia disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan pertama, bahasa
Melayu dipakai hanya oleh penduduk Kepulauan Riau-lingga dan penduduk
pantai-pantai di seberang Sumatera. Namun, justru karena pertimbangan itu
pemilihan bahasa Jawa akan selalu dirasakan sebagai pengistimewaan yang berlebihan.
Alasan kedua, bahasa Melayu lebih berterima daripada bahaa Jawa yang lebih
besifat linguistik. Bahasa Melayu lebih sedikit kesukarannya jika dibandingkan
dengan bahasa Jawa. Kesulitan tersebut tidak hanya secara fonetis dan
morfologis tetapi juga secara leksikal. Faktor lainnya adalah munculnya kenyataan
bahwa bahasa Melayu mempunyai sejarah yang panjang sebagai lingua franca.
Bahasa melayu Jakarta diduga
tumbuh pada masa kolonial. Namun, bahasa itu menunjukan beberapa sifat arkais seperti
bertahannya oposisi antara /e/ dan /a/ pada suku akhir kata dasar tertutup.
Dialek melayu biasanya tidak mencakup dialek di daerah Sumatera yang membentuk bahasa Minangkabau
dan Kerinci. Namun, bahasa-bahasa tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan
dialek Melayu untuk dianggap Melayu Purba. Di luar Sumatera, bahasa Melayu
digunakan sebagai bahasa sastra, misalnya di Kesultanan Banjarmasin, Brunei,
dan Kutai di Kalimantan. Selain itu, bahasa Melayu juga digunakan di dalam
bahasa dua surat yang ditulis atas nama Sultan Ternate kepada Raja Portugal
pada abad ke-16. Aktivitas orang Portugis dalam menyebarkan agama di tengah
kegiatan kolonial mereka di Pulau Ambon tidak mempunyai pilihan lain kecuali
meneruskan penggunaan bahasa Melayu sebagai propaganda agama.
William Marsden, seorang pakar
masalah Sumatera berkebangsaan Inggris, membedakan empat “gaya” dalam bahasa
Melayu (Marsden 1812: xv-xvii). “Gaya istana” dan “gaya golongan sopan”. Perbedaan
di antara keduanya hanya pada sejumlah kecil kata-kata dengan ciri status yang
hanya digunakan untuk raja. Gaya selanjutnya adalah bahasa perdangangan yang
digunakan oleh pedangang antarpulau dan ditandai sebagai less elegant and
less grammatical yang berarti ‘kurang anggun dan kurang gramatikal’. Gaya
yang terakhir adalah bahasa khacukan
yaitu campuran jargon pasar di kota-kota pelabuhan besar atau sejenis bahasa
konvesi dengan dasar bahasa Melayu.
Hal yang berbeda diungkapkan oleh
Takdir Alisyahbana (1957:45). Ia mengungkapkan bahwa bahasa Melayu dibagi atas dua
kelompok yaitu bahasa Melayu Tinggi dan bahasa Melayu Rendah. Kosakata dalam
bahasa Melayu banyak berasal dari
pinjaman bahasa asing terutama dari bahasa Sansekerta, Persia, Arab, dan Eropa.
Beberapa pakar dari Inggris dan Belanda sepakat menyatakan bahwa bahasa Melayu
Riau-Johor mewakili bahasa Melayu Klasik. Hal tersebut disebabkan kalangan
istana Riau dan Johor secara langsung mewarisi tradisi sastra Malaka yang
menghasilkan Sejarah Melayu.
Pada masa penjajahan Belanda
terdapat perbedaan antara bahasa Melayu sekolah dengan bahasa Melayu
percakapan. Hal tersebut terjadi akibat adanya perbedaan antara kehidupan
sehari-hari dengan hal-hal yang diajarkan di sekolah-sekolah. Salah seorang
pembela bahasa Melayu Klasik yang sangat berpengaruh adalah C.A. van Ophuijen.
Ia menulis tata bahasa yang akhirnya dikenal dengan ejaan Ophuijen. Ia juga
menjabat sebagai Inspektur Jendral bagi sekolah-sekolah Melayu.
Budi Utomo sebagai gerakan persamaan
hak yang sering diilhami oleh kebudayaan Jawa mempunyai bahasa yang digunakan
di media publikasinya yaitu bahasa Melayu. Melalui media publikasi tersebut
bahasa Melayu mulai menyebar di seluruh Indonesia. Perkembangan varietas kreol
terjadi di daerah timur Indonesia. Bahasa kreol yang patut diperhatikan adalah
bahasa Melayu Baba, yaitu bahasa percakapan yang digunakan oleh orang Cina
kelahiran sekitar Selat Malaka. Tumbuhnya Kreol disebabkan oleh politik
perdangangan dan kependudukan penguasa kolonial.
Bahasa Indonesia berkembang
dengan pesat saat masa penjajahan Jepang. Jepang berusaha untuk menghapus segala
sesuatu yang bersifat kebelanda-belandaan, salah satunya adalah menjadikan
bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di Indonesia. Pada tahum 1972, dilakukan
perubahan ejaan yang mengakhiri perbedaan sistem tulis antara bahasa Indonesia
dan bahasa Malaysia. Di Malaysia dan Brunesi Darussalam, bahasa Melayu juga
digunakan sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia baku, bagi
sebagian orang Indonesia merupakan bahasa kedua. Sebagian orang Indonesia
mempunyai bahasa pertama kalau bukan salah satu dari bahasa kreol atau dialek
simpangan Melayu tertentu yang merupakan salah satu dari ratusan bahasa di
Indonesia yang termasuk rumpun Austronesia ataupun non-Austronesia (Papua).
Bahasa Melayu lokal akhirnya akan semakin resmi banyak yang melebur dalam
bahasa Indonesia resmi.
Dalam perkembangannya,
bahasa Indonesia di masa depan lebih dipengaruhi oleh bahasa Jawa dalam
pembentukan istilah-istilah. Kata yang berasal dari bahasa utama di kawasan
Indonesia lebih mudah diterima daripada kata asing. Bahasa Melayu Jakarta
mungkin masih lebih kuat daripada pengaruh bahasa Jawa. Hal tersebut disebabkan
bahwa bahasa tersebut merupakan bahasa ibu kota yang dianggap sebagai lambang
kemajuan.
SEJARAH BAHASA INDONESIA
Sutan Takdir Alisyahbana
Timbulnya
bahasa-bahasa kebangsaan di Asia disebabkan oleh runtuhnya kerajaan-kerajaan
kolonial Eropa. Di Indonesia, telah muncul kira-kira 250 bahasa dan dialek,
bahasa dan dialek tersebut dapat dikembalikan ke dalam rumpun bahasa purba yang
sama. Ketika adanya kekuasaan asing di Indonesia, bahasa-bahasa negara tersebut
menjadi bahasa pergaulan di Indonesia.
Perkembangan bahasa Melayu
Daerah-daerah
yang berbahasa Melayu terletak pada jalur penting untuk masuk ke wilayah
Indonesia. Bangsa Melayu bersifat pelaut, saudagar, perantau sehingga mereka
mengembara ke luar negerinya. Di kota Malaka, saudagar-saudagar dari Indonesia
dan dari luar negeri berkumpul. Hal itulah yang menyebabkan bahasa Melayu
menjadi semacam lingua franca.
Bahasa
Melayu dianggap sebagai bahasa yang terhormat. Pada abad 16, bahasa Melayu
dipakai oleh raja-raja di daerah Maluku. Bahasa Melayu mudah strukturnya
sehingga bahasa tersebut mudah dipelajari. Dalam pergaulan dengan bangsa asing,
masyarakat menggunakan bahasa Melayu pasar atau Melayu rendah. Pada abad 17,
bangsa Belanda memakai bahasa Melayu di sekolah-sekolah dan gereja agar mudah
dimengerti oleh orang Indonesia. Bahasa Melayu semakin maju karena bangsa
Belanda memakainya dalam pemerintahan dan dalam korepondensi dengan bangsa
Indonesia.
Perkembangan bahasa Belanda
Pada
pertengahan abad 19, Van der Chijs memajukan bahasa Belanda di Indonesia. Mr.
J.H. Abendanon menjadi direktur Departemen Pengajaran dan menyebarkan bahasa
Belanda. Lambat laun bahasa Belanda berkembang di Indonesia karena diajarkan di
sekolah. Dr. G. J. Nieuwenhuis, seorang Belanda yang menolak bahasa Melayu,
menjadikan bahasa Belanda sebagai alat untuk menyebarkan kebudayaan dan alat
untuk memperluas ekonomi.
Perkembangan bahasa Indonesia
Para
pemuda Indonesia melakukan pergerakan dan membangkitkan kembali bahasa Melayu.
Surat kabar dan majalah sudah memakai bahasa Melayu. Pada tanggal 28 Oktober
1928, diadakan kongres pemuda. Pada saat itu untuk pertama kalinya bahasa
Melayu digantikan oleh bahasa Indonesia. Pada saat itu pun dinyatakan bahwa
persaingan antara bahasa Melayu dan bahasa Belanda telah selesai. Agar bahasa
Indonesia semakin maju, diperlukan media untuk memajukannya. Hadirlah majalah Pujangga Baru untuk memajukan bahasa dan
kesusastraan Indonesia.
Pada
tahun 1938, diadakan kongres bahasa Indonesia di Surakarta. Kongres tersebut
membahas empat hal, yakni para pemuda perlu mengadakan suatu lembaga dan suatu
fakultas untuk bahasa Indonesia, mengadakan ejaan baru untuk bahasa Indonesia,
menentukan suatu tata bahasa baru, dan bahasa Indonesia dijadikan bahasa
undang-undang dan bahasa pengantar di pemerintahan.
Perkembangan bahasa pada zaman Jepang
Pada
awal tahun 1942, Jepang mendarat di Indonesia. Mereka menghapus bahasa Belanda
dengan tujuan menggantikan bahasa Belanda dengan bahasa Jepang. Namun, mereka
tidak mampu melakukan hal tersebut karena terdesak peperangan sehingga mereka
terpaksa memakai bahasa Indonesia dalam berkomunikasi.
Kemajuan bahasa Indonesia
Bahasa
Indonesia tidak hanya sebagai bahasa undang-undang, tetapi juga sebagai bahasa
pengumuman dan surat-surat resmi antara kantor-kantor pemerintahan dan rakyat.
Bahasa Indonesia dipakai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Majunya
peperangan membuat bangsa Indonesia semakin banyak yang menggunakan bahasa
Indonesia sehingga bahasa Indonesia menjadi lambang kesatuan bangsa Indonesia.
Pada
tanggal 20 Oktober 1942 didirikan Komisi Bahasa Indonesia. Di dalam
Undang-Undang Dasar 1945, bahasa Indonesia dijadikan bahasa negara yang resmi.
Disusul pada tanggal 18 Juni 1947, didirikan komisi bahasa yang menentukan
kurang lebih 5000 istilah baru. Akhirnya, pada tahun 1952 didirikanlah komisi
istilah di Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia.
Sumber:
Kridalaksana,
Harimurti. 1991. Masa Lampau Bahasa
Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Kanisius.